web widgets

ARTIKEL



ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA TN. A DENGAN ISOLASI SOSIAL DIRUANG ELANG RUMAH SAKIT KHUSUS (RSK) PROVINSI KALIMANTAN BARAT PONTIANAK



PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA TN. A DENGAN ISOLASI SOSIAL DIRUANG ELANG RUMAH SAKIT KHUSUS (RSK)
PROVINSI KALIMANTAN BARAT
PONTIANAK
Laporan Kasus
Diajukan sebagai persyaratan untuk
Menyelesaikan Pendidikan D-III Keperawatan

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI
(STIKES YARSI) PONTIANAK
TAHUN 2012


Diterima dan disetujui untuk dipertahankan laporan kasus dengan judul:
Asuhan Keperawatan Pada Tn. A. Dengan Isolasi Soaial
 di Ruang Elang Rumah Sakit Khusus (RSK)
Provinsi Kalimantan Barat”
Pembimbing,
( Ns. Masmuri, S. Kep. )
Mengetahui,
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Yayasan Rumah Sakit Islam Pontianak
          Ketua
( Ridwan, M. Kep.)
Ketua
Prodi D-III Keperawatan
( Jamel Djawi, M. Kes)
Diperiksa dan disyahkan oleh penguji Jenjang Pendidikan Tinggi Diploma III Keperawatan
Bagian Laporan Kasus Tinggi Ilmu Kesehatan Yarsi Pontianak
Penguji   I
(Ridwan, M. Kep)
Penguji   II
(Ns. Florensa, S. Kep)
Penguji  III
(Ns. Masmuri, S. Kep)
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nyalah penulis dapat menyelesaikan laporan hasil studi kasus dengan judul : “Asuhan Keperawatan Pada Tn. A dengan Isolasi Sosial di Ruang Elang Rumah Sakit Khusus (RSK) Provinsi Kalimantan Barat”.
Penulis menyadari bahwa dalam laporan kasus ini penulis banyak mengalami kesulitan dan hambatan baik materi, tata bahasa maupun isi, namun dengan bantuan dan dorongan dari berbagai pihak akhirnya dapat terselesaikan. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Ibu dr. Jendariah Tarigan, Sp. Kj, selaku direktur Rumah Sakit Khusus Provinsi Kalimantan Barat, atas izin dalam praktik klinik keperawatan.
2.      Bapak Ridwan, M. Kep selaku ketua STIKES YARSI Pontianak.
3.      Bapak Jamel Djawi, M. Kes. selaku ketua Prodi D-III Keperawatan STIKES YARSI Pontianak.
4.      Ibu Ns. Masmuri, S. Kep selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan motivasi dalam penyusunan laporan kasus ini hingga selesai.
5.      Bapak Ridwan, M. Kep dan ibu Ns. Florensa, S. Kep selaku tim penguji dalam sidang laporan kasus ini.
6.      Kepala Ruang Melati beserta staf dan dokter diruangan perawatan Rumah Sakit Khusus Provinsi Kalimantan Barat.
7.      Bapak dan Ibu Dosen serta Staf STIKES YARSI Pontianak yang telah banyak memberikan dorongan dan bekal ilmu selama penulis mengikuti pendidikan.
8.      Bapak, Ibu, Abang, Adik, serta keluarga tercinta yang telah memberikan do’a dan dorongan semangat serta materil dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
9.      Semua rekan-rekan seangkatan dan adik-adik kelasku tersayang yang telah memberikan dorongan dan motivasi dalam penyusunan laporan kasus ini.
10.  Pihak-pihak lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu yang juga telah banyak membantu baik support maupun do’a.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus yang penulis buat ini jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang  bersifat membangun sangat penulis harapkan agar penyusunan laporan kasus ini lebih baik lagi dimasa yang akan datang.
Penulis berharap semoga amal baik yang telah diberikan oleh semua pihak diatas mendapat imbalan yang sesuai dari Tuhan Yang Maha Esa. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi profesi keperawatan agar bisa menjadi perawat yang lebih profesional. Amin.
                Pontianak,     Juli 2012
       Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................                i
HALAMAN PERSETUJUAN....................................................................               ii
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................              iii
KATA PENGANTAR.................................................................................               v
DAFTAR SKEMA.......................................................................................            viii
DAFTAR TABEL........................................................................................              ix
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................               x
BAB    I           PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang.......................................................................           1
B.     Tujuan Penulisan....................................................................           3
C.     Manfaat Penulisan.................................................................           5
D.      Ruang Lingkup Penulisan.....................................................           6
E.       Metode Penulisan..................................................................           6
F.        Sistematika Penulisan............................................................           7
                             
BAB    II         TINJAUAN PUSTAKA
                        A   Konsep Dasar Isolasi Sosial...................................................           9
1.    Pengertian Isolasi Sosial...................................................         10
2.    Proses Terjadinya Isolasi Sosial........................................         12
                        B   Penatalaksanaan Isolasi Sosial...............................................         20
1.    Penatalaksanaan Keperawatan.........................................         20
2.    Penatalaksanaan Medis....................................................         30
BAB    III        LAPORAN KASUS
                        A   Pengkajian .............................................................................         34
                        B   Analisa Data..........................................................................         49
                        C   Daftar Diagnosa Keperawatan..............................................         52
                        D   Rencana Keperawatan...........................................................         53
                        E    Catatan Tindakan Keperawatan............................................         57
                        F    Catatan Perkembangan..........................................................         57
BAB    IV        PEMBAHASAN KASUS
                        A   Pengkajian..............................................................................         63
                        B   Diagnosa Keperawatan..........................................................         68
                        C   Rencana Keperawatan...........................................................         70
                        D   Implementasi .........................................................................         72
                        E    Evaluasi..................................................................................         73
BAB V            PENUTUP
                        A   Kesimpulan............................................................................         75
                        B   Saran......................................................................................         77
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR SKEMA
DAFTAR TABEL
LAMPIRAN-LAMPIRAN
  
DAFTAR SKEMA
Skema 2.1       Model adaptasi stress................................................................          12
Skema 2.2       Rentang respon isolasi sosial....................................................           18
Skema 2.3       Pohon masalah isolasi social....................................................           23
  
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1         Tugas perkembangan berhubungan dengan pertumbuhan interpersonal
  
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1      Strategi Pelaksanaan 1 Isolasi Sosial
Lampiran 2      Strategi Pelaksanaan 2 Isolasi Sosial
Lampiran 3      Strategi Pelaksanaan 3 Isolasi Sosial
Lampiran 4      Daftar Riwayat Hidup




BAB I
\


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kesehatan jiwa bukan hanya tidak ada gangguan jiwa, melainkan mengandung berbagai karakteristik positif  yang menggambarkan kesalahan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadiannya. (WHO dalam Yosep, 2009, hlm. 1). Pengertian seseorang tentang gangguan jiwa berasal dari apa yang orang tersebut yakini sebagai faktor penyebab. (Stuart, 2007, hlm. 26)
Secara umum gangguan jiwa yang sering muncul adalah skizofrenia. Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah. (Stuart, 2007, hlm 240)
1
Skizofrenia biasanya terdiagnosis pada masa remaja awal dan dewasa awal. Insiden puncak awitannya adalah 15 sampai 35 untuk pria dan 25 sampai 35 untuk wanita. Menurut WHO dalam Videbeck (2008, hlm. 348) prevalensi skizofrenia diperkirakan sekitar 1 % dari seluruh penduduk di dunia.  (Videbeck, 2008, hlm. 348). Berdasarkan data dari Rumah Sakit Khusus Provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2011 jumlah penderita gangguan jiwa khususnya skizofrenia yang dirawat inap berjumlah 686 atau 84,4 % dari 839 kunjungan.
Perilaku yang muncul pada pasien skizofrenia adalah isolasi dan menarik diri dari hubungan sosial, harga diri rendah, ketidaksesuaian sosial, tidak tertarik dengan aktivitas rekreasi, kerancuan identitas gender, menarik diri dari orang lain yang berhubungan dengan stigma, penurunan kualitas hidup. (Stuart, 2007, hlm. 241)
Hasil rekam medik menunjukkan adanya kecenderungan pasien  yang dirawat di ruang Elang Rumah Sakit Khusus Provinsi Kalimantan Barat adalah dengan isolasi sosial yaitu sekitar 40 % dari jumlah penderita gangguan jiwa yang ada di ruangan tersebut.  Jika masalah ini tidak dilakukan intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan persepsi sensori : halusinasi dan resiko tinggi mencederai orang lain serta dapat menyebabkan intoleransi aktivitas yang akhirnya bisa berpengaruh terhadap ketidakmampuan untuk melakukan perawatan diri secara mandiri. (Fitria, 2011, hlm. 31)
Untuk menyikapi masalah diatas, perawat yang berhubungan langsung dengan pasien harus melaksanakan perannya secara profesional serta dapat mempertanggungjawabkan asuhan keperawatan yang diberikannya secara alamiah. Prinsip penatalaksanaan asuhan keperawatan tersebut antara lain: membina hubungan saling percaya, membantu pasien menyadari perilaku isolasi sosial, melatih pasien cara-cara berkenalan dengan orang lain secara bertahap, inventarisir kelebihan pasien yang dapat dijadikan motivasi untuk membangun kepercayaan diri pasien dalam bergaul, libatkan pasien dalam interaksi dan terapi kelompok secara bertahap. (Yosep, 2009, hlm 232-234)
Berdasarkan kerangka berfikir diatas maka penulis tertarik untuk menelaah lebih dalam tentang penanganan pasien dengan isolasi sosial dan memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif kepada pasien khususnya di ruang Elang Rumah Sakit Khusus (RSK) Provinsi Kalimantan Barat dengan harapan asuhan keperawatan yang diberikan dapat membantu pasien untuk memulai kembali berhubungan dan berinteraksi  dengan orang lain.
B.     Tujuan Penulisan
Tujuan  dari penulisan laporan kasus ini adalah:
1.    Tujuan Umum
Memberikan  gambaran tentang asuhan keperawatan  isolasi sosial dan membandingkan asuhan keperawatan isolasi sosial secara teori dan kenyataan khususnya di ruang Elang RSK Provinsi Kalimantan Barat.
2.    Tujuan Khusus
a.    Memberikan gambaran tentang asuhan keperawatan baik secara teori maupun pada pasien dengan isolasi sosial.
b.    Membandingkan antara konsep dasar yang terkait dengan fakta yang ada di lapangan tentang pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan isolasi sosial khususnya di ruang Elang Rumah Sakit Khusus (RSK) Provinsi Kalimantan barat.
c.    Mengetahui gambaran faktor pendukung dan penghambat dalam asuhan keperawatan pada pasien dengan isolasi sosial khususnya di ruang Elang RSK Provinsi Kalimantan Barat.
d.   Memberikan saran  dan alternatif penyelesaian masalah dalam menyelesaikan  asuhan keperawatan asuhan keperawatan pada pasien dengan isolasi sosial khususnya diruang Elang RSK Provinsi Kalimantan Barat.
e.    Memenuhi salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program pendidikan D- III Keperawatan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Yarsi Pontianak.
C.  Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan dari studi kasus ini dapat dibagi menjadi dua yaitu: manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1.    Manfaat Teoritis
Dapat menjadi salah satu referensi bagi mahasiswa keperawatan khususnya mahasiswa D-III keperawatan untuk membandingkan antara asuhan keperawatan secara teoritis dengan kenyataan.
2.    Manfaat Praktis
a.       Rumah Sakit
Mengetahui metode keperawatan yang digunakan untuk mengatasi pasien dengan isolasi sosial.
b.      Perawat
Mengetahui bagaimana cara membuat asuhan keperawatan yang komprehensif dan memberikan perawatan yang optimal pada pasien dengan isolasi sosial
c.       Institusi Pendidikan
Dijadikan contoh laporan kasus dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan isolasi sosial.
d.      Bagi Penulis
Menambah pengalaman dan wawasan penulis dalam melakukan  asuhan keperawatan pada pasien dengan isolasi sosial dan bisa membandingkan antara teori dengan kenyataan.
e.       Keluarga
Keluarga lebih mengetahui  tanda dan gejala pasien dengan isolasi sosial dan dapat mengetahui bagaimana cara merawat pasien dengan isolasi sosial.
D.      Ruang Lingkup Penulisan
Ruang lingkup penulisan ini membahas tentang Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Isolasi di ruang Elang RSK Provinsi Kalimantan Barat yang dimulai dari tanggal 14 Juni 2012 - 16 Juni 2012.
E.     Metode Penulisan
Penulisan laporan kasus ini dengan metode deskriptif yaitu dengan mengungkapkan fakta-fakta sesuai dengan data yang didapat. Cara pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:
1.    Wawancara atau interview, dimana wawancara dilakukan pada pasien, dan tenaga kesehatan lainnya serta keluarga jika memungkinkan untuk mendapatkan data dari kasus tersebut.
2.    Pemeriksaan, pengamatan dan observasi sehingga penulis mendapatkan pengalaman secara langsung dalam memberikan asuhan keperawatan dengan melakukan pendekatan proses keperawatan.
3.    Studi kepustakaan, yaitu mempelajari buku dan sumber lainnya untuk mendapatkan dasar ilmiah yang berhubungan dengan permasalahan dalam laporan kasus.
4.    Studi dokumentasi, penulis melakukan studi dokumentasi terhadap status pasien untuk melengkapi data-data yang penulis butuhkan serta melihat catatan keperawatan agar menentukan tindak lanjut dalam melakukan intervensi keperawatan pada pasien.
F.     Sistematika Penulisan
Laporan kasus ini terdiri dari V (lima) bab yang disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I      : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, ruang lingkup penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II    : Landasan teoritis yang terdiri dari konsep dasar isolasi sosial dan penatalaksanaan isolasi sosial.
BAB III   : Laporan kasus yang terdiri dari Pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
BAB IV   : Pembahasan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, daftar diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi.
BAB V    : Penutup, yang  terdiri dari kesimpulan dan saran

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka merupakan dasar ilmu pengetahuan yang harus dimiliki oleh setiap individu sebagai pemberian pelayanan keperawatan agar tercapai hasil yang seoptimal mungkin. Bab  ini penulis menguraikan tentang konsep dasar Isolasi sosial dan penatalaksanaan pada klien dengan Isolasi sosial secara teoritis.
A.  Konsep Dasar Isolasi Sosial
Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu. Skizofrenia tidak ada didefinisikan sebagai penyakit tersendiri, melainkan diduga sebagai suatu sindrom atau proses penyakit yang mencakup banyak jenis dengan berbagai gejala seperti halnya jenis kanker. (Videbeck, 2008, hlm. 348)
 

 
Gejala atau perilaku yang berhubungan dengan skizofrenia dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu kategori negatif dan positif. Gejala positif yang dialami adalah waham, halusinasi, gangguan pikiran, bicara kacau, dan perilaku aneh. Sedangkan gejala negatif yang dialami adalah afek datar, alogia, avolisi/apati, anhedonia/asosial, dan defisit perhatian. (Stuart, 2007, hlm. 241)
Salah satu jenis skizofrenia adalah skizofrenia hebefrenik. Skizofrenia hebefrenik  disebut juga disorganized type atau “kacau balau” yang ditandai dengan gejala-gejala seperti inkoherensi, alam perasaan, perilaku atau tertawa seperti anak-anak, waham tidak jelas, halusinasi, serta perilaku aneh. (Hawari, 2006, hlm. 64-65)
Menarik diri merupakan salah satu gejala negatif dari skizofrenia dan juga merupakan salah satu tanda dan gejala dari isolasi sosial. Dari uraian diatas penulis akan menjelaskan tentang konsep  isolasi sosial.
1.    Pengertian Isolasi Sosial
Suatu sikap dimana individu menghindari diri dari interaksi dengan orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian, dan tidak sanggup membagi pengamatan dengan orang lain. (Balitbang, dalam Fitria, 2010, hlm. 29)
Isolasi sosial adalah keadaan ketika seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. (Keliat dan Akemat, 2009, hlm. 93)
Selain itu isolasi sosial merupakan upaya menghindari komunikasi dengan orang lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran, dan kegagalan. Klien mengalami kesulitan dalam berhubungan secara spontan dengan orang lain yang dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak ada perhatian dan tidak sanggup berbagi pengalaman. (Yosep, 2009, hlm. 229)
Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa isolasi sosial merupakan suatu keadaan dimana seseorang berpartisipasi dalam pertukaran sosial dengan kuantitas dan kualitas yang tidak efektif. Klien yang mengalami kerusakan interaksi sosial mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain salah satunya mengarah pada perilaku menarik diri.

2.      Proses Terjadinya Isolasi Sosial
Proses terjadinya masalah dapat gambarkan dalam bentuk skema 2.1 dibawah ini:

Skema 2.1 Model adaptasi stres. (Stuart dan Laraia, 2005, hlm. 434)
a.    Faktor Predisposisi
Menurut Fitria (2009, hlm. 33-35) ada empat faktor predisposisi yang menyebabkan Isolasi Sosial, diantaranya:
1)   Faktor Tumbuh Kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Bila tugas perkembangan tidak terpenuhi maka akan menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya akan dapat menimbulkan masalah sosial.
Dibawah ini akan dijelaskan tahap perkembangan serta tugas perkembangan, lihat tabel 2.1 dibawah ini:
Tahap Perkembangan
Tugas
Masa Bayi
Menetapkan rasa percaya.
Masa Bermain
Mengembangkan otonomi dan awal perilaku mandiri
Masa Prasekolah
Belajar menunjukan inisiatif, rasa tanggung jawab, dan hati nurani
Masa Sekolah
Belajar berkompetisi, bekerja sama, dan berkompromi
Masa Praremaja
Menjalin hubungan intim dengan teman sesama jenis kelamin
Masa Dewasa Muda
Menjadi saling bergantung antara orang tua dan teman, mencari pasangan, menikah, dan mempunyai anak
Masa Tengah Baya
Belajar menerima hasilkehidupan yang sudah dilalui
Masa Dewasa Tua
Berduka karena kehilangan dan mengembangkan perasaan keterkaitan dengan budaya
Tabel 2.1 Tugas perkembangan berhubungan dengan pertumbuhan interpersonal (Erik Erikson dalam Stuart, 2007, hlm. 346)
2)   Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan suatu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hal ini disebabkan oleh norma-norma yang salah dianut oleh keluarga di mana setiap anggota keluarga yang tidak produktif seperti lanjut usia, penyakit kronis, dan penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosialnya.
3)   Faktor Biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat mempengaruhi terjadinya gangguan hubungan sosial adalah otak, misalnya pada klien skizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan sosial memiliki struktur yang abnormal pada otak seperti atropi otak, serta perubahan ukuran dan bentuk sel sel dalam limbik dan daerah kortikal.
4)   Faktor Komunikasi dalam Keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini yang termasuk dalam masalah berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan yaitu suatu keadaan dimana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu bersama atau ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan diluar keluarga.
b.    Faktor Presipitasi (pencetus)
Menurut Stuart (2007, hlm. 280) faktor presipitasi atau stresor pencetus pada umumnya mencakup peristiwa kehidupan yang menimbulkan stres seperti kehilangan, yang memenuhi kemampuan individu berhubungan dengan orang lain dan menyebabkan ansietas. Faktor pencetus dapat dikelompokkan dalam dua kategori yaitu sebagai berikut:
1)   Stresor Sosiokultural. Stress dapat ditimbulkan oleh menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah dari orang yang berarti.
2)   Stresor Psikologi. Tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan. 
c.    Penilaian Terhadap Stressor
Rasa sedih karena suatu kehilangan atau beberapa kehilangan dapat sangat besar sehingga individu tidak tidak mau menghadapi kehilangan dimasa depan, bukan mengambil resiko mengalami lebih banyak kesedihan. Respon ini lebih mungkin terjadi jika individu mengalami kesulitan dalam tugas perkembangan yang berkaitan dengan hubungan. (Stuart, 2007, hlm. 280).
d.   Sumber Koping
Menurut Stuart (2007, hlm. 280) sumber koping yang berhubungan dengan respon sosial maladaptif adalah sebagai berikut :
1)        Keterlibatan dalam hubungan keluarga yang luas dan teman.
2)        Hubungan dengan hewan peliharaan yaitu dengan mencurahkan perhatian pada hewan peliharaan.
3)        Penggunaan kreativitas untuk mengekspresikan stres interpersonal (misalnya: kesenian, musik, atau tulisan)
Menurut Stuart & Laraia (2005, hlm. 432) terkadang ada beberapa orang yang ketika ada masalah mereka mendapat dukungan dari keluarga dan teman yang membantunya dalam mencari jalan keluar, tetapi ada juga sebagian orang yang memiliki masalah, tetapi menghadapinya dengan menyendiri dan tidak mau menceritakan kepada siapapun, termasuk keluarga dan temannya.
e.    Mekanisme Koping
Menurut Stuart (2007, hlm. 281) individu yang mengalami respon sosial maladaptif menggunakan berbagai mekanisme dalam upaya untuk mengatasi ansietas.
Mekanisme tersebut berkaitan dengan dua jenis masalah hubungan yang spesifik yaitu sebagai berikut:
1)        Koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian antisosial
a)        Proyeksi merupakan keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi kepada orang lain karena kesalahan sendiri. (Rasmun, 2004, hlm. 35)
b)        Spliting atau memisah merupakan kegagalan individu dalam menginterpretasikan dirinya dalam menilai baik buruk. (Rasmun, 2004, hlm. 36)
2)        Koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian ambang
a)        Splitting
b)        Formasi reaksi
c)        Proyeksi
d)       Isolasi merupakan perilaku yang menunjukan pengasingan diri dari lingkungan dan orang lain. (Rasmun, 2004, hlm. 32)
e)        Idealisasi orang lain
f)         Merendahkan orang lain
g)        Identifikasi proyeksi
f.     Rentang Respon
Bagan rentang respon pada pasien dengan isolasi sosial dapat dilihat pada skema 2.2 dibawah ini:
Respon adaptif                                               Respon maladaptif

Menarik diri
Ketergantungan
Manipulasi
curiga
 
Merasa sendiri
Dependensi
curiga
 
Menyendiri
Otonomi
Bekerjasama
interdependen
 
                                      
         
Skema 2.2 Rentang respon isolasi sosial
(Townsend dalam Fitria, 2009, hlm.32)
  
Berdasarkan bagan diatas respon sosial pada pasien dengan isolasi sosial dibagi menjadi respon adaptif dan respon maladaptif :
1)   Respon Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayaan secara umum yang berlaku. Menurut Fitria (2009, hlm. 32) yang termasuk respon adaptif adalah sebagai berikut:
a)    Menyendiri, merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah terjadi dilingkungan sosialnya.
b)   Otonomi, merupakan kemampuan individu untuk menentukan dab menyampaikan ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
c)    Bekerja sama, merupakan kemampuan individu yang saling membutuhkan orang lain.
d)   Interdependen, saling ketergantungan antara individu dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal.
2)   Respon Maladaptif
Respon yang diberikan individu menyimpang dari norma sosial. Yang termasuk kedalam rentang respon maladaptif adalah sebagai berikut:
a)    Menarik Diri
Seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain.
b)   Ketergantungan
Seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri sehingga tergantung dengan orang lain.
c)    Manipulasi
Seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek individu sehingga tidak dapat menerima hubungan sosial secara mendalam.
d)   Curiga
Seseorang gagal dalam mengembangkan rasa percaya terhadap orang lain.
B.  Penatalaksanaan Isolasi sosial
Penatalaksanaan  asuhan keperawatn pada pasien isolasi sosial terdiri dari penatalaksanaan keperawatan dan penatalaksanaan medis:
1.    Penatalasanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan isolasi sosial meliputi metode pendekatan proses keperawatan dan terapi modalitas.
a.    Metode Pendekatan Proses Keperawatan
Proses keperawatan adalah suatu metode pemberian asuhan keperawatan yang sistematis dan rasional. (Kozier dalam Nurjannah, 2004, hlm. 29)
Menurut Stuart dan Sundeen dalam Nurjannah (2004, hlm. 30). Enam fase atau langkah dari proses keperawatan tersebut meliputi pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan, engidentifikasian outcame, perencanaan, implementasi dan evaluasi.
1)   Pengkajian  Asuhan Keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dari dasar utama dari proses keperawatan, tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. (Nurjannah, 2004, hlm. 30)
Pengelompokan data  pada pengkajian kesehatan jiwa dapat pula berupa faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan kemampuan koping yang dimiliki klien. (Stuart dan Sundeen dalam Nurjannah, 2004, hlm. 30)
Menurut Keliat (2010, hlm.93) untuk melakukan pengkajian pada  pasien dengan isolasi sosial dapat menggunakan teknik wawancara dan observasi.
a)        Pengkajian yang ditemukan pada teknik wawancara adalah sebagai berikut:
(1)     Pasien mengatakan malas bergaul dengan orang lain.
(2)     Pasien mengatakan dirinya tidak ingin ditemani perawat dan meminta untuk sendirian.
(3)     Pasien mengatakan tidak mau berbicara dengan orang lain.
(4)     Pasien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
(5)     Pasien merasa tidak aman dengan orang lain.
(6)     Pasien mengatakan tidak bisa melangsungkan hidup.
(7)     Pasien mengatakan merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
b)        Pengkajian yang ditemukan dari hasil observasi adalah sebagai berikut:
(1)     Ekspresi wajah kurang berseri
(2)     Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
(3)     Mengisolasi diri
(4)     Tidak ada/kurang kontak mata
(5)     Aktivitas menurun
(6)     Asupan makanan dan minuman terganggu
(7)     Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan.
(8)     Tampak sedih, afek tumpul
  
2)   Pohon Masalah
Skema  pohon  masalah isolasi sosial adalah sebagai berikut:
      
Skema 2.3 Pohon masalah isolasi sosial (Fitria, 2009, hlm.36)
3)   Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah interpretasi ilmiah atas data hasil pengkajian yang interpretasi ini digunakan perawat untuk membuat rencana, melakukan implementasi dan evaluasi. (NANDA, 2011, hlm. 2)
a)    Diagnosa utama : Isolasi sosial
b)   Diagnosa lain yang menyertai diagnosa isolasi sosial menurut Keliat (2006, hlm. 20 ) adalah sebagi berikut:
(1)     Gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran
(2)     Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri
(3)     Gangguan konsep diri: harga diri rendah
(4)     Ketidakefektifan penatalaksanaan program teraupetik
(5)     Defisit perawatan diri
(6)     Ketidakefektifan koping keluarga: ketidakmampuan keluarga merawat pasien dirumah.
(7)     Gangguan pemeliharaan kesehatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul menurut Fitria (2009, hlm. 36) adalah sebagai berikut:
(1)     Isolasi sosial
(2)     Harga diri rendah kronis
(3)     Perubahan persepsi sensori: Halusinasi
(4)     Koping individu tidak efektif
(5)     Koping keluarga tidak efektif
(6)     Malas beraktivitas
(7)     Defisit perawatan diri
(8)     Resiko tinggi mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
4)   Rencana Asuhan Keperawatan
Perencanaan adalah kategori dari perilaku kesehatan dimana memiliki tujuan yang berpusat pada pasien dari hasil yang dapat diperkirakan dan ditetapkan, intervensi keperawatan dipilih untuk tujuan tersebut (Potter & Perry, 2005, hlm. 180)
Menurut Keliat dan Akemat (2010, hlm. 98-99)  intervensi keperawatan untuk pasien dengan isolasi sosial adalah:
a)    Tujuan
(1)     Pasien dapat membina hubungan saling percaya
(2)     Pasien dapat menyadari penyebab interaksi sosial
(3)     Pasien dapat berinteraksi dengan orang lain.
(4)     Pasien menunjukkan keterlibatan sosial
b)   Intervensi Keperawatan untuk Pasien
Intervensi keperawatan untuk pasien menurut Keliat dan Akemat (2010, hlm 98-99) adalah sebagai berikut:
(1)     Membina hubungan saling percaya.
(2)     Membantu pasien untuk mengenal penyebab isolasi sosial, yaitu dengan cara:
(a)      Tanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan berinteraksi dengan orang lain.
(b)     Tanyakan penyebab pasien tidak ingin berinteraksi dengan orang lain.
(3)     Bantu pasien untuk mengenal manfaat berhubungan dengan orang lain dengan cara mendiskusikan manfaat jika pasien memiliki banyak teman.
(4)     Membantu pasien mengenal kerugian tidak berhubungan dengan orang lain, yaitu dengan cara:
(a)      Diskusikan kerugian jika pasien hanya mengurung diri dan tidak bergaul dengan orang lain.
(b)     Jelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik pasien. 
(5)     Membantu pasien untuk berinteraksi dengan orang lain secara bertahap, yaitu dengan cara:
(a)      Memberikan kesempatan pasien memperhatikan cara berinteraksi dengan orang lain yang dilakukan dihadapan perawat.
(b)     Mulailah bantu pasien berinteraksi dengan satu orang (perawat, pasien atau keluarga).
(c)      Jika pasien sudah menunjukkan kemajuan, tingkatkan jumlah interaksi dengan dua, tiga atau empat orang dan seterusnya.
(d)     Berilah pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah dilakukan oleh pasien.
(e)      Motivasi pasien untuk terus berinteraksi dengan orang lain dan tingkatkan jadwal aktivitas pasien secara bertahap.
3)   Intervensi Keperawatan untuk Keluarga
Intervensi keperawatan keluarga menurut Keliat & Akemat (2010, hlm. 104) adalah sebagai berikut:
(a)    Diskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien.
(b)   Jelaskan tentang masalah isolasi sosial dan dampaknya, penyebab isolasi sosial, cara-cara merawat pasien dengan isolasi sosial.
(c)    Peragakan cara merawat pasien dengan isolasi sosial.
(d)   Bantu keluarga mempraktekan cara merawat yang telah dipelajari, mendiskusikan masalah yang dihadapi.
(e)    Susun rencana pulang bersama keluarga.
4)      Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendy, dalam Nurjannah, 2004, hlm. 63). Menurut Stuart dan Sundeen dalam Nurjannah (2004, hlm. 63) menyebutkan beberapa kondisi dan perilaku perawat yang diperlukan pada saat melakukan implementasi keerawatan:
(a)      Kondisi perawat: memiliki pengalaman klinik, pengetahuan tentang riset, responsif dan tindakan mempunyai dimensi perawatan
(b)     Perilaku perawat: mempertimbangkan sumber yang tersedia, mengimlementasikan aktifitas perawatan, memunculkan alternatif, berkoordinasikan dengan petugas kesehatan yang lain
5)   Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan (Kurniawati, dalam Nurjannah 2004, hlm. 64). Menurut Stuart (2007, hlm. 283) ada beberapa pertanyaan yang dapat digunakan perawat dalam mengevaluasi pasien yang mengalami respon sosial diantaranya:
1)        Apakah pasien menjadi kurang impulsif, manipulatif, atau narsisistik?
2)        Apakah pasien mengekspresikan kepuasan dengan kualitas hubungan interopersonalnya?
3)        Dapatkah pasien berperan serta dalam hubungan interpersonal yang akrab?
4)        Dapatkah pasien menggunakan kesadarannya tentang perubahan perilaku yang positif?
b.    Terapi Modalitas
Suatu kegiatan yang diberikan kepada seseorang secara teraupetik sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan pasien.
1)   Terapi Individual
Terapi individual adalah metode yang menimbulkan perubahan pada individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara berpikir dan perilakunya. Terapi ini meliputi hubungan satu-satu antara ahli terapi dan klien. Individu biasanya mencari terapi jenis ini dengan tujuan memahami diri dan perilaku mereka sendiri, membuat perubahan personal, memperbaiki hubungan iterpersonal, atau berusaha lepas dari rasa sakit hati atau ketidakbahagiaan. (Videbeck, 2008, hlm. 69)
2)   Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah bentuk terapi kelompok yang mengikutsertakan pasien dan anggota keluarganya. Tujuannya adalah memahami bagaimana dinamika keluarga memengaruhi psikopatologi klien, memobilisasi kekuatan dan sumber fungsional keluarga, merestrukturi gaya perilaku keluarga yang maladaptif, dan menguatkan perilaku penyelesaian masalah keluarga. (Steinglass, dalam Videbeck, 2008, hlm. 70)
3)      Terapi Kelompok
Terapi aktivitas kelompok (TAK) sosialisasi (TAKS) adalah upaya memfasilitasi kemampuan sosialisasi sejumlah klien dengan masalah hubungan sosial. Tujuannya agar meningkatkan hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap. (Keliat dan Akemat, 2004, hlm. 16)
4)   Terapi Lingkungan
Lingkungan berkaitan erat dengan stimulasi psikologis seseorang yang akan berdampak pada kesembuhan. (Yosep, 2009, hlm. 325)
2.      Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis untuk pasien dengan gangguan jiwa dibagi berdasarkan dua metode, yaitu sebagai berikut:
a.    Metode Biologik
Metode biologik yang digunakan pada pasien dengan isolasi sosial adalah sebagai berikut:
1)   Terapi Psikofarmaka
Terapi psikofarmaka yang akan diberikan ditujukan pada gangguan fungsi neurotransmitter sehingga gejala-gejala klinis dapat dihilangkan atau dengan kata lain skizofrenia dapat diobati (Hawari,2006, hlm. 96). Obat antipsikotik terpilih untuk skizofrenia terbagi dalam dua golongan (Hawari, 2006, hlm. 97-99) yaitu antipsikotik tipikal (Klorpromazim, Trifluferazin, Haloperidol) dan antipsikotik atipikal (Klozapin, Risperidon). Antipsikotik golongan tipikal tersebut bekerja dengan memblokir reseptor dopamin terpilih, baik diarea striatal maupun limbik di otak dan antipsikoti atipikal menghasilkan reseptor dopamin dan serotonin selektif yang menghambat sistem limbik. Memberikan efek antipsikotik (gejala positif) dan mengurangi gejala negatif.
2)   Menurut Doenges (2007, hlm.253) prosedur diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fungsi otak pada penderita gangguan jiwa adalah sebagai berikut:
a)    Coputerized Tomografi (CT Scan)
Induvidu dengan gejala negatif seringkali menunjukkan abnormalitas struktur otak dalam sebuah hasil CT scan. (Townsend, 2003, hlm. 318)
b)   Magnetik Resonance Imaging (MRI)
Mengukur anatomi dan status biokimia dari berbagai segmen otak.
c)    Positron Emission Tomography
Mengukur fungsi otak secara spesifik seperti metabolisme glukosa, aliran darah terutama yang terkait dengan psikiatri.
3)   Elektroconvulsif Therapy (ECT)
Digunakan untuk pasien yang mengalami depresi. Pengobatan dengan ECT dilakukan 2 sampai 3 kali per minggu dengan total 6 sampai 12 kali pengobatan. (Townsend, 2003, hlm.316)
b.    Metode Psikososial
Menurut Hawari (2006, hlm. 105-111) ada beberapa terapi untuk pasien skizofrenia, diantaranya adalah sebagai berikut:
1)   Psikoterapi
Psikoterapi pada penderita skizofrenia baru dapat diberikan apabila penderita dengan terapi psikofarmaka sudah mencapai tahapan dimana kemampuan menilai realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik. (Hawari, 2006, hlm. 105)
2)   Terapi Psikososial
Dengan terapi psikososial ini dimaksudkan agar penderita mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak bergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. (Hawari, 2006, hlm. 108-109)
3)      Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan terhadap penderita skizofrenia ternyata mempunyai manfaat. Diantaranya yaitu gejala-gejala klinis gangguan jiwa lebih cepat hilang, lamanya perawatan lebih pendek, hendaya lebih cepat teratasi, dan lebih cepat dalam beradaptasi dengan lingkungan. Terapi keagamaan yang dimaksud adalah berupa kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, shalat, ceramah keagamaan, kajian kitab suci dan lain sebagainya. (Hawari, 2006, hlm. 110-111)

BAB III
LAPORAN KASUS
Pembahasan pada bab ini penulis akan menyajikan laporan kasus yaitu asuhan keperawatan jiwa pada Tn. A dengan isolasi sosial di Ruang Elang Rumah Sakit Khusus Provinsi Kalimantan Barat, penulis melakukan asuhan keperawatan selama tiga hari dimulai dari tanggal 14 Juni 2012 sampai dengan 16 Juni 2012.
A.      PENGKAJIAN
1.    Identitas Pasien
Pasien bernama Tn. A, umur 28 tahun dan belum menikah, pendidkan terakhir STM, pasien masuk pada tanggal 1 Juni 2012 dan didiagnosa Skizofrenia Hebefrenik. Penanggung jawab pasien adalah Tn. F (adik ipar) yang berusia 27 tahun.
2.    Alasan Masuk
Berdasarkan catatan rekam medis, pada tanggal 1 Juni 2012 pasien di bawa ke RSK Provinsi Kalimantan Barat oleh keluarganya dengan alasan 2 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien marah-marah dan memukul warga setempat hingga menyerang warga menggunakan senapan angin.
34
 

Berdasarkan pengkajian yang dilakukan pada tanggal 14 Juni 2012 pasien mengatakan dibawa oleh keluarganya ke rumah sakit dengan alasan pasien tidak suka melihat tetangganya yang suka omong kosong, pasien akan membentak orang tersebut dan akan meninju orang-orang yang suka omong kosong, sehingga pasien mengisolasi diri dikamar sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
3.    Faktor Predisposisi
Faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa pada Tn. A adalah kehidupan keluarganya yang kurang harmonis, membuat pasien sering marah-marah dengan keluarganya, hal ini juga didukung dengan keadaan dimana pasien tidak suka dengan keluarga maupun tetangga pasien yang suka bicara omong kosong atau bicara tinggi. Menurut catatan keperawatan pasien mempunyai riwayat putus cinta ± 8 bulan yang lalu sejak ia pulang dari malaysia, sejak kejadian itu klien menjadi sensitif serta mudah marah.
Pasien pernah menjadi pelaku dalam kekerasan rumah tangga, pada usia 28 tahun. Pasien mengatakan kehidupan didalam keluarganya kurang harmonis dan ini yang menyebabkan pasien sering marah-marah dirumah dan bahkan menyerang ayahnya. Didalam anggota keluarganya Tn.A, tidak ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, hanya saja adik Tn.A yang nomor 6 mengalami retardasi mental.
Pasien mengatakan, pengalaman masa lalunya yang tidak menyenangkan terlalu banyak, sehingga ia tidak ingat lagi dan ia juga tidak mau mengingatnya lagi karena akan menbuat stres, pada usia ± 20 tahun pasien adalah alkoholik.
Masalah keperawatan:             Resiko perilaku kekerasan
                                                            Inefektif koping individu
4.    Faktor Presipitasi
Sebelumnya pasien pernah mengalami gangguan jiwa. Tiga bulan yang lalu tanggal 29 Februari 2012 pasien berobat ke Rumah Sakit Khusus Kalimantan Barat dengan keluhan sering marah-marah dan terkadang mengisolasi diri dikamar tidak mau makan dan minum. Saat berada dirumah, pasien berobat jalan dipraktik dr. Ibnu, dan pasien juga mengatakan saat dirumah sering malas minum obat. Berdasarkan catatan keperawatan, pasien tidak minum obat secara teratur dan sering putus obat.
Masalah Keperawatan:            Inefektif regimen therapeutik
5.    Pemeriksaan Fisik
a.    Tanda - tanda vital : TD = 100/60 mmHg, N = 64 x/mnt, S = 36, 2 °C dan RR = 18 x/mnt.
b.    Berat badan 70 kg, tinggi badan 172 cm, berat badan ideal 65 kg.
c.    Pemeriksaan Fisik Head to Toe.
1)   Kepala, leher
Kepala:   Pada saat diinspeksi rambut pasien lurus dan pendek, berwarna hitam, kebersihan baik, pada saat dipalpasi tidak terdapat benjolan dan nyeri tekan pada kepala.
Leher:     Pada saat diinspeksi tidak terdapat pembesaran vena jugularis, tidak terdapat nyeri tekan.
2)   Mata
Bentuk mata simetris, penglihatan baik, tidak memakai alat bantu penglihatan.
3)   Telinga
Bentuk simetris, pendengaran baik dibuktikan Tn. A dapat menjawab pertanyaan perawat, kebersihan telinga cukup dan Tn. A tidak menggunakan alat bantu pendengaran.
4)   Hidung
Hidung Tn. A simetris, fungsi penciuman baik dibuktikan Tn. A dapat mencium wangi sabun, tidak terdapat polip.
5)   Mulut
Bibir Tn. A simetris, gigi Tn. A lengkap dan bersih, mukosa bibir lembab.
6)   Integumen
Warna kulit sawo matang, kulit tampak kering, turgor kulit cukup.
7)   Dada
a)    Rongga Torax
Bentuk dada simetris, respirasi 18x/menit.
b)   Abdomen
Saat diispeksi tidak terdapat lesi, tidak terdapat nyeri tekan.
c)    Punggung
Tidak terdapat kelainan pada tulang belakang.
d)   Ekstremitas
Atas:              pergerakan tangan baik, turgor kulit kurang, kulit berwarna sawo matang.
Bawah:          pergerakan kaki baik, tidak terdapat odema pada kaki, kebersihan kaki baik.
6.    Psikososial
a.    Genogram
28

Ket :          
      = perempuan                 = meninggal                = tinggal serumah
      = laki-laki                      = pasien
Berdasarkan hasil pengkajian, pasien tidak mampu menjelaskan silsilah keturunan secara keseleruhun, terutama kakek dan nenek pasien, karena pasien kesulitan dalam mengingatnya, sehingga hanya didapatkan data sebanyak dua generasi (keturunan). Didalam catatan keperawatan juga tidak terdapat genogram tiga keturunan.
b.    Masalah komunikasi, pengambilan keputusan, dan pola asuh
Pasien mengatakan, ia anak ke-5 dari 7 bersaudara, ia hanya  tinggal bersama ayah, ibu dan adiknya yang ketujuh, sedangkan saudaranya yang lain ada yang telah menikah dan bekerja. Pasien mempunyai pola asuh yang baik, hanya saja pasien mengatakan kehidupan keluarganya kurang harmonis. Semenjak ia dan keluarga lainnya pisah, dalam hal pengambilan keputusan, ayah pasien selalu memusyawarahkannya terlebih dahulu.
c.    Konsep Diri
1)   Citra Tubuh
Pasien mengatakan ia menyukai seluruh tubuhnya, karena pasien menyadari bahwa seluruh anggota tubuhnya ini telah diciptakan Allah SWT sesempurna mungkin, sehingga ia selalu bersyukur dengan yang diberikan allah SWT.
2)   Identitas Diri
Pasien dapat menyebutkan namanya dan pasien mengatakan bahwa pasien adalah seorang laki- laki, penampilan Tn. A sesuai dengan identitasnya sebagai seorang laki-laki. Tn. A merasa  tidak puas sebagai seorang laki-laki karena belum menikah. Tn. A bekerja sebagai petani. Pasien anak kelima dari tujuh bersaudara, pasien tamatan STM.
3)   Peran
Pasien berperan sebagai anak yang belum menikah dan bekerja sebagai petani. Dirumah sakit pasien berperan sebagai pasien yang mentaati praturan rumah sakit
4)   Ideal Diri
Pasien berharap cepat sembuh dan berkumpul bersama keluarganya. Dan bisa bekerja lagi untuk membahagiakan kedua orang tuanya dan ingin segera sembuh agar segera menikah.
5)   Harga Diri
Pasien merasa sedih karena ia sekarang sakit, tidak bisa berkumpul dengan keluarganya dan menyusahkan keluarganya saja.
d.   Hubungan Sosial
1)   Orang yang berarti
Pasien mengatakan orang yang berarti baginya adalah kakaknya yang nomor empat. Jika ada masalah pasien kadang menceritakan kepada kakaknya.
2)   Peran dalam kegiatan kelompok
Pasien mengatakan malas untuk bersosialisasi dengan tetangganya, karena tetangganya sring berbicara kosong.
3)   Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain.
Pasien mengatakan mengatakan malas untuk berhubungan dengan orang lain, selain karena ia malas ngobrol dengan orang lain, juga karena pasien sering lupa nama orang dan tidak ada untungnya.
Masalah keperawatan:               Isolasi sosial
e.    Spiritual
1)   Nilai dan keyakinan
Pasien beragama Islam, dan pasien percaya dengan adanya Allah SWT. Menurut pasien, penyakitnya ini merupakan cobaan dari Allah SWT.
2)   Kegiatan ibadah
Saat di rumah pasien shalat lima waktu, namun selama dirumah sakit pasien tidak pernah shalat, karena pasien beranggapan bahwa dirinya ini kotor dan tidak suci untuk melakukan ibadah shalat.
7.    Status Mental
a.    Penampilan
Penampilan pasien rapi, pakaian bersih dan diganti setiap hari, serta pasien berpakaian sesuai.
b.    Pembicaraan
Pasien berbicara dengan nada yang pelan dan lambat, jelas dan mudah dimengerti. Namun pasien tidak mampu untuk memulai pembicaraan kepada orang lain.
Masalah Keperawatan:       Isolasi sosial
c.    Aktivitas motorik
Pasien tampak lesu, malas beraktivitas, pasien lebih sering berdiam diri dan sering menghabiskan waktunya ditempat tidur.
Masalah keperawatan:        Isolasi sosial
d.   Afek dan Emosi
1)      Afek pasien tumpul, berespon apabila di berikan stimulus yang kuat.
2)      Emosi pasien stabil. Pasien mengatakan saat ini sedih karna tidak pernah lagi dijenguk keluarganya.
Masalah keperawatan: Isolasi sosial
e.    Interaksi selama wawancara
Selama wawancara kontak mata pasien baik, pasien tampak ragu dalam menjawab pertanyaan perawat sehingga perawat harus mengulangi beberapa pertanyaan kepada pasien, tingkat konsentrasi pasien baik, ditandaidengan ketika wawancara, pasien terfokus kepada perawat. Selain itu pasien tidak memiliki keinginan untuk berinteraksi kecuali perawat yang memulai.
Masalah keperawatan: Isolasi sosial
f.     Persepsi dan sensori
Pasien tidak mengalami gangguan persepsi sensori ilusi dan halusinasi, baik itu halusinasi pendengaran, penglihatan, perabaan, pengecapan, dan penghidu. Ditandai dengan pasien mengatakan tidak pernah mendengar, melihat dan merasakan yang aneh-aneh tanpa wujud.
g.    Proses pikir (arus dan bentuk pikir)
1)      Proses Pikir (arus dan bentuk pikiran)
Saat bicara Tn. A kadang- kadang terdiam dan sulit memulai pembicaraan. 
Masalah keperawatan:              Isolasi sosial
2)      Isi Pikir
Tn. A tidak mengalami gangguan isi pikir. Isi pikir Tn. A sesuai dengan kenyataan saat ini. Dibuktikan Tn.A tidak memiliki keinginan yang besar sesuai dengan keadaannya saat ini.
h.    Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran pasien bingung. Pasien mengalami gangguan orientasi tempat, terbukti dengan pasien mengatakan bahwa dirinya berada di rumah sakit Griya Husada. Orientasi waktu pasien baik di buktikan dengan pasien mengetahui hari dan tanggal.
i.      Memori
Pasien mengalami gangguan daya ingat jangka panjang, namun pasien tidak mengalami gangguan mengingat jangka pendek dan saat ini.
Jangka panjang:          Pasien tidak dapat menceritakan kejadian yang terjadi beberapa bulan yang lalu, terutama saat ia berada dimalysia.
Jangka pendek:            Pasien dapat menceritakan kejadian ketika pasien di bawa masuk oleh keluarganya.
Saat ini:                       Pasien dapat mengingat nama perawat, serta janji / kontrak yang telah dibuat.
j.      Tingkat konsentrasi dan berhitung
Pasien mampu untuk berkonsentrasi penuh, pasien mampu berhitung sederhana dibuktikan dengan pasien dapat menyebutkan perhitungan dari 1-10 dan sebaliknya dari 10-1.
k.    Kemampuan penilaian
Pasien tidak ada masalah pada kemampuan penilaian, terbukti dengan pada saat diberi pilihan mau makan setelah mandi atau mandi setelah makan, pasien memilih makan setelah mandi.
l.      Daya tilik diri
Pasien mengatakan ia tidak tau sedang sakit apa, ia bertanya-tanya mengapa saya diberi obat yang efek sampingnya membuat saya mengantuk dan lemah.
8.    Kebutuhan Perencanaan Pulang
a.    Kemampuan pasien memenuhi kebutuhan
Pasien mampu memenuhi kebutuhan makan dan minum secara mandiri, sedangkan untuk kebutuhan lainnya seperti keamanan, perawatan kesehatan, pakaian, transportasi, tempat tinggal, keuangan dan lain-lain belum dapat dipenuhi secara mandiri.
b.    Kegiatan hidup sehari – hari (ADL)
1)   Perawatan diri
Pasien mengatakan mandi dua kali sehari dengan menggunakan sabun, shampo serta menggosok gigi sebanyak dua kali sehari. Setelah mandi pasien tidak menyisir rambut karena sisir tidak ada diruangan.
2)   Nutrisi
Pasien makan 3x/hari, pasien tidak dapat menghabiskan 1 porsi yang telah di sediakan rumah sakit, karena terlalu banyak. Pasien makan menggunakan tangan, dan tempat yang disediakan, pasien sudah mampu membereskan makan setelah makan.
3)   Tidur
Pasien tidur sehari biasanya 6 – 8 jam, tidur siang 1 – 2 jam. Pasien tidur malam mulai dari jam 21.00 dan bangun jam 05.00 pagi, pasien tidak mengalami kesulitan saat memulai tidur dan pasien bangun tidur dengan kondisi segar. Pasien belum dapat merapikan tempat tidurnya sendiri, semua masih di arahkan oleh perawat.
9.    Mekanisme Koping
Pasien mengatakan apabila memiliki masalah lebih baik menghindar dari malasah tersebut, dan jika ada masalah, pasien akan memendam masalahnya itu dan lebih baik menyendiri dan menghindar dari orang lain.
Masalah keperawatan:             Isolasi sosial
                                         Inefektif koping individu
10.  Masalah Psikososial dan Lingkungan
Pasien mempunyai masalah dengan lingkungannya, karena jarang berinteraksi dengan orang lain. Pasien lebih suka menyendiri daripada berkumpul dengan orang lain.
Masalah keperawatan:             Isolasi sosial
11.  Pengetahuan Tentang Masalah Kejiwaan
Pasien mengatakan ia tidak tahu ia sakit apa, dan ia juga bingung mengapa ia diberi obat yang efek sampingnya akan membuat ia menjadi mengantuk dan lemah, pasien juga mengatakan saat dirumah pernah diberi obat, namun pasien malas untuk meminum obat tersebut karena akan membuatnya mengantuk.
Masalah keperawatan:             Inefektif regimen therapeutik
12.  Aspek Medis
Diagnosa medis:          F.20.1 Skizofrenia Hebefrenik
Terapi medis:               Fluoxetin                     1 x 10 mg/hari
Persidal                       2 x 1 mg/hari
Trihexipenidil              2 x 2 mg/hari
Clorilex                       1 x 25 mg/hari
Vit. B6                                    1 x 10 mg/hari
Stelazine                      2 x 5 mg/hari
13.  Daftar Diagnosa Keperawatan
a.       Isolasi Sosial
b.      Inefektif Regimen Therapeutik
c.       Inefektif Koping Individu
B.  ANALISA DATA
No
Data
Masalah Keperawatan
1.
Ds:
-       Pasien mengatakan malas untuk berinteraksi dengan pasien lain karena tidak ada untungnya.
-       Pasien mengatakan selama dirumah sakit, tidak ada satupun yang pasien kenal.
Do:
-       Pasien tampak sering menyendiri dari teman-temannya.
-       Pasien tampak tidak berinteraksi dengan orang lain.
-       Pasien tidak mampu memulai pembicaraan
-       Pasien banyak diam, pasien tidak mau mengikuti kegiatan
-       Pasien tampak lesu, afek tumpul
-       Pasien malas beraktivitas
Isolasi Sosial
2.
Ds:
-          Pasien mengatakan pernah masuk rumah sakit ini, tapi lupa kapan waktunya.
-          Pasien mengatakan saat dirumah malas minum obat.
Do:
-          Dari catatan keperawatan, pasien berobat jalan di dr. Ibnu dan mengalami perubahan, namun tidak minum obat secara teratur dan sering putus obat.
-          Pasien pernah masuk rumah sakit khusus ini pada tanggal 29 Februari 2012 dan pulang pada tanggal 09 April 2012
Inefektif Regimen Therapeutik
3.
Ds:
-          Pasien mengatakan ia punya banyak masalah masa lalu yang malas untuk diceritakan karena akan membuat stres
-          Pasien mengatakan lebih baik menghindari masalah
-          Pasien mengatakan akan memendam masalahnya tersebut dan lebih baik menyendiri dan menghindar dari orang lain
Do:
-          Menurut catatan keperawatan, pasien mempunyai riwayat putus cinta ± 8 bulan sejak ia pulang dari malaysia, sejak kejadian itu klien menjadi sensitif serta mudah marah.
Inefektif Koping Individu
4.
Ds:
-          Pasien mengatakan dibawa oleh keluarganya ke rumah sakit  karena tidak suka melihat tetangga yang suka omong kosong, pasien akan membentak orang tersebut dan akan meninjunya.
-          Pasien mengatakan kehidupan didalam keluarganya kurang harmonis dan ini yang menyebabkan pasien sering marah-marah dirumah dan bahkan menyerang ayahnya
Do:
-          Berdasarkan catatan rekam medis, pada tanggal 1 Juni 2012 pasien dibawa ke RSK Provinsi Kalimantan Barat oleh keluarganya dengan alasan 2 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien marah-marah dan memukul warga setempat hingga menyerang warga menggunakan senapan angin.
-          Pasien pernah menjadi pelaku dalam kekerasan rumah tangga, pada usia 28 tahun.
Resiko Perilaku Kekerasan
C.  POHON MASALAH DAN DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.      Pohon Masalah
Isolasi Sosial
Core Problem
Inefektif Koping Individu
Inefektif Regimen Therapeutik
Resiko Perilaku Kekerasan

2.      Diagnosa Keperawatan
a.       Isolasi Sosial
b.      Inefektif Regimen Therapeutik
c.       Inefektif Koping Individu
d.      Resiko Perilaku Kekerasan



 D. INTERVENSI KEPERAWATAN
No
Dx
Diagnosa
Keperawatan
PERENCANAAN
TUJUAN
KRITERIA EVALUASI
INTERVENSI
1. 
Isolasi sosial
Pasien mampu :
1.    Menyadari penyebab isolasi
2.    Berinteraksi dengan orang lain.
Setelah 3 X pertemuan pasien mampu :
1.    Membina hubungan saling percaya
2.    Menyadari penyebab isolasi social, keuntungan dan kerugian berinteraksi dengan orang lain.
3.    Melakukan interaksi dengan orang lain secara bertahap.
SP 1 Pasien
1.      Identifikasi penyebab
a.       Siapa yang satu rumah dengan pasien?
b.      Siapa yang dekat dengan pasien? apa sebabnya?
c.       Siapa yang tidak dekat dengan pasien dan apa sebabnya?
2.      Tanyakan keuntungan dan kerugian berinteraksi dengan orang lain.
a.    Tanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan berinteraksi dengan orang lain.
b.    Tanyakan apa yang menyebabkan pasien tidak ingin berinteraksi dengan orang lain.
c.    Diskusikan keuntungan bila pasien memiliki banyak teman dan bergaul akrab dengan orang lain.
d.   Diskusikan kerugian bila pasien hanya mengurung diri dan tidak bergaul dengan orang lain.
e.    Jelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik pasien.
3.      Latih berkenalan
a.       Jelaskan kepada Pasien cara berinteraksi dengan orang lain.
b.      Berikan contoh cara berinteraksi dengan orang lain.
c.       Berikan kesempatan pasien mempraktikan cara berinteraksi dengan orang lain yang dilakukan di hadapan perawat.
SP 2 Pasien
1.         Evaluasi Sp 1
2.         Latih berhubungan sosial secara bertahap
3.         Masukkan dalam jadwal kegiatan pasien.
SP 3 Pasien
1.         Evaluasi Sp 1 dan 2
2.         Latih cara berkenalan dengan 2 orang atau lebih
3.         Masukkan jadwal kegiatan pasien.
3.        
Setelah tindakan keperawatan, keluarga dapat merawat pasien isolasi sosial.
Setelah 3 X pertemuan, keluarga mampu:
1.      Menjelaskan masalah keluarga dalam merawat pasien isolasi sosial
2.      Menegerti penyebab isolasi sosial
3.      Memperagakan cara merawat pasien isolasi sosial
4.      Mempraktikan cara merawat pasien isolai sosial
5.      Menyusun perencanaan pulang bersama keluarga
SP 1 Keluarga
1.         Diskusikan masalah yang dialami keluarga dalam merawat pasien
2.         Jelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial yang dialami pasien beserta proses terjadinya
3.         Jelaskan cara-cara merawat pasien isolasi sosial
SP 2 Keluarga
1.         Latih keluarga mempraktikan cara merawat pasien dengan isolasi sosial
2.         Latih keluarga melakukan cara merawat langsung pada pasien isolasi sosial
SP 3 Keluarga
1.         Bantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk minum obat (perencanaan pulang)
2.         Jelaskan tindakan tindak lanjut pasien setelah pulang
E.  IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN
Hari,Tanggal & waktu
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
Paraf
Kamis
14 Jun 2012
Isolasi Sosial
Pertemuan ke-1 SP 1 Isolasi Sosial.
1.      Membina hubungan saling percaya
2.      Mengidentifikasi penyebab isos
3.      Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain dan kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain.
4.      Mengajarkan cara berkenalan dengan orang lain.
Sp 1 Isolasi Sosial, Pukul 13.00
S:
-       Pasien mengatakan namanya Abdul Jalil dan senang dipanggil Pak Abdul.
-       Pasien mengatakan malas berinteraksi dengan pasien lain karena tidak ada untungnya.
-       Pasien mengatakan selama dirumah sakit tidak ada satupun orang yang Pasien kenal
-       Pasien mengatakan jika banyak teman bisa menambah wawasan
-       Pasien mengatakan jika tidak ada teman merasa kesepian
-       Pasien mengatakan perasaan Pasien setelah belajar cara berkenalan senang dan menambah ilmu.
O:
-       Pasien tampak menyendiri
-       Pasien tampak tidak berinteraksi dengan orang lain
-       Pasien tidak mampu memulai pembicaraan
-       Afek Pasien tumpul
-       Pasien mempraktikan cara berkenalan.
A:     SP1 Isolasi Sosial teratasi
-          Pasien mampu menyadari penyebab Isolasi Sosial
-          Pasien mampu menjelaskan keuntungan dan kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain
-          Pasien mampu mempraktikan cara berkenalan dengan perawat.
P:
PP : Evaluasi SP1 Isolasi Sosial, jika berhasil lanjut SP2 Isolasi Sosial
PK :    latihan cara berkenalan dan masukan kedalam jadwal harian pasien
Jum’at
15 Jun 2012
Isolasi Sosial
Pertemuan ke-2 SP 2 Isolasi Sosial.
1.      Mengevaluasi  Sp 1
2.      Melatih berhubungan sosial secara bertahap
3.      Memasukkan kedalam jadwal kegiatan pasien.
Sp 2 Isolasi Sosial, Pukul 09.00
S :
-          Pasien mengatakan cara-cara berkenalan itu tahap-tahapnya: jabatkan tangan, perkenalkan diri, nama lengkap, nama panggilan, alamt dan hobby.
-          Pasien mengatakan nama saya Abdul Jalil senang dipanggil Jalil alamat saya dari Kubu Raya hobby saya berolahraga dan memancing
-          Pasien mengatakan senang bisa berkenalan dengan suster E
-          Pasien mengatakan terasa lega sudah bisa berkenalan.
-          Pasien mengatakan ingin berkenalan 1X saja pada jam 12 siang.
O :
-          Pasien tampak berkenalan dengan suster E
-          Pasien bersama perawat menyusun jadwal harian pasien
-          Pasien tampak berkenalan dengan Tn. I dikamarnya
-          Pasien masih ingat dengan SP 1 Isolasi sosial
A: SP2 Isolasi Sosial teratasi
-          Pasien mampu menjelaskan kembali cara berkenalan dengan orang lain
-          Psien mampu berkenalan dengan orang pertama.
P:
PP :  evaluasi SP 1, SP 2 Isolasi sosial, jika berhasil lanjut SP 3
PK: praktikkan cara berkenalan dengan perawat / pasien lain dan masukkan kedalam jadwal harian pasien.
Sabtu
16 Jun 2012
Isolasi Sosial
Pertemuan ke-3 SP 3 Isolasi Sosial.
1.      Mengevaluasi Sp 1 dan 2
2.      Melatih cara berkenalan dengan 2 orang atau lebih
3.      Memasukkan kedalam jadwal kegiatan pasien.
Sp 3 Isolasi Sosial, Pukul 09.00
S :
-          Pasien mengatakan sudah berkenalan dengan 2 orang yaitu Amsyah dan Irhas.
-          Pasien mengatakan cara berkenalan itu pertama-tama jabatkan tangan, perkenalkan diri, alamat dan hobby, setelah itu baru tanyakan kembali
-          Pasien mengatakan kemarin berkenalan dengan suster E
-          Pasien mengatakan perasaan hari ini senang sudah banyak teman
-          Pasien mengatakan senang bisa berkenalan dengan Rahmat Ramadhan.
-          Pasien mengatakan ingin latihan berkenalan 2X jam 09.00 pagi dan jam 12.00 siang.
O :
-          Pasien tampak berkenalan dengan Tn. R
-          Pasien tampak sedang berbicara dengan Tn. R didalam kamar
-          Pasien bersama perawat menyusun jadwal harian pasien
-          Pasien tampak ceria setelah berkenalan dengan Tn. R
A : SP 3 Isolasi Sosial teratasi
-          Pasien mampu menjelaskan kembali cara-cara berkenalan
-          Pasien mampu berkenalan dengan orang kedua
P :
PP :  evaluasi SP 1, SP 2, dan SP 3 Isolasi Sosial, jika berhasil lanjut intervensi selanjutnya
PK: terus berkenalan dan berbincang-bincang dengan pasien / perawat lain diruangan dan masukan kedalam jadwal harian pasien.
*     
 
BAB IV
PEMBAHASAN
Bab ini penulis  membahas tentang laporan kasus yang telah di uraikan pada bab sebelumnya yaitu  tentang asuhan keperawatan pada Tn. A dengan isolasi sosial di ruang Elang Rumah Sakit Khusus Provinsi Kalimantan Barat. Dalam hal ini penulis membahas tentang sejauh mana kesenjangan antara tinjauan teoritis dengan tinjauan kasus yaitu dengan melalui tahapan proses keperawatan. Tahapan proses keperawatan ini terdiri dari pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan, penyususnan rencana keperawatan serta evaluasi keperawatan. Selain itu faktor pendukung dan penghambat juga dipaparkan penulis guna mengatasi masalah yang muncul selama penyusunan laporan kasus pada Tn. A di ruang Elang Rumah Sakit Khusus Provinsi Kalimantan Barat. Asuhan keperawatan ini dilakukan selama tiga hari yaitu dari tanggal   14 Juni sampai 16 Juni 2012.
A.  Pengkajian
63
 
Pengkajian dimulai pada tanggal 14 Juni 2012 di ruang Elang Rumah Sakit  Khusus Provinsi Kalimantan Barat. Penulis mengumpulkan data dengan tehnik wawancara dan observasi. Wawancara ditujukan kepada pasien dan perawat ruangan, serta mengobservasi secara langsung keadaan pasien. Penulis mengumpulkan informasi secara sistematis mengenai Tn. A dengan menggunakan pendekatan teoritis yang terkait mulai dari faktor predisposisi, presipitasi, mekanisme koping, dan status mental pasien.
Berdasarkan catatan rekam medis pasien didiagnosa skizofrenia hebefrenik (F 20.2). Menurut teori skizofrenia hebefrenik disebut juga disorganized type atau “kacau balau” yang ditandai dengan gejala-gejala seperti inkoherensi, alam perasaan, perilaku atau tertawa seperti anak-anak, waham tidak jelas, halusinasi, serta perilaku aneh Hawari (2006, hlm. 64-65). Keadaan pasien atau status mental pasien sangat berbeda dengan teori yang ada. Pasien lebih menunjukan perilaku mengisolasi diri, serta afek tumpul. Tanda dan gejala yang ditunjukan lebih mengarah pada skizofrenia tipe residual sebagaimana tinjauan teoritis.
Setelah mengetahui diagnosa medis pada Tn. A, penulis memulai pengkajian dengan menggali faktor predisposisi yang merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan jiwa pada Tn. A. Berdasarkan keterangan pasien, pasien pernah menjadi pelaku dalam kekerasan rumah tangga, pada usia 28 tahun. Kehidupan rumah tangga didalam keluarganya kurang harmonis dan ini yang menyebabkan pasien sering marah-marah dirumah dan bahkan menyerang ayahnya. Menurut catatan keperawatan pasien mempunyai riwayat putus cinta ± 8 bulan yang lalu sejak ia pulang dari malaysia, sejak kejadian itu klien menjadi sensitif serta mudah marah. Hal ini sesuai dengan teori komunikasi dalam keluarga menurut Fitria (2009, hlm. 33-35), bahwa dalam teori ini yang termasuk dalam masalah berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan yaitu suatu keadaan dimana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu bersama atau ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan diluar keluarga.
Faktor presipitasi berdasarkan catatan keperawatan, tiga bulan yang lalu tanggal 29 Februari 2012 pasien berobat ke Rumah Sakit Khusus Kalimantan Barat dengan keluhan sering marah-marah dan terkadang mengisolasi diri dikamar tidak mau makan dan minum. Saat berada dirumah, pasien berobat jalan dipraktik dr. Ibnu, dan pasien juga mengatakan saat dirumah sering malas minum obat. Berdasarkan catatan keperawatan, pasien tidak minum obat secara teratur dan sering putus obat. Faktor ini sesuai dengan pendapat Stuart (2007, hlm. 280) bahwa faktor presipitasi atau stresor pencetus pada umumnya mencakup peristiwa kehidupan yang menimbulkan stres. Hal ini yang menyebabkan klien menarik diri dari lingkungan.
Pengkajian terhadap mekanisme koping yang digunakan Tn. A menggunakan mekanisme koping yang maladaptif, ia mengatakan apabila memiliki masalah lebih baik menghindar dari malasah tersebut, dan jika ada masalah, pasien akan memendam masalahnya itu dan lebih baik menyendiri dan menghindar dari orang lain. Telah dibahas pada tinjauan teoritis menurut Rasmun (2004, hlm. 32) isolasi merupakan perilaku yang menunjukan pengasingan diri dari lingkungan dan orang lain. Kasus ini membuktikan bahwa mekanisme yang maladaptif dapat menjadi faktor pendukung terjadinya gangguan jiwa.
Sumber koping juga berperan sebagai pertahanan terhadap stres. Tn. A tergolong dalam keluarga tingkat ekonomi rendah, kurang dukungan dalam keluarga, dan belum menikah. Pasien lebih senang menyendiri dan jika ada masalah, klien hanya mendiamkan masalah tersebut, sehingga sumber koping ini tidak mampu menjadi pertahanan  terhadap stressor sebagaimana faktor predisposisi dan presipitasi diatas yang menjadi faktor terjadinya gangguan jiwa. Telah dijelaskan Menurut Stuart dan Laraia (2005, hlm. 432) bahwa yang termasuk kedalam sumber koping antara lain, keterlibatan dalam hubungan keluarga yang luas dan teman, serta hubungan dengan hewan peliharaan yaitu dengan mencurahkan perhatian pada hewan peliharaan dan penggunaan kreativitas untuk mengekspresikan stres interpersonal (misalnya: kesenian, musik, atau tulisan) hanya saja, pasien tidak mempunyai sumber koping tersebut.
Berdasarkan pengkajian terhadap status mental, penulis mendapatkan data isolasi sosial seperti afek tumpul, pembicaraan dengan nada yang pelan dan lambat, pasien tidak mampu memulai pembicaraan, pasien tampak lesu, malas beraktivitas, pasien lebih sering berdiam diri dan sering menghabiskan waktunya ditempat tidur. Hal ini sesuai dengan pengkajian teoritis menurut Keliat (2010, hlm. 93) bahwa pengkajian status mental pada pasien isolasi sosial akan didapatkan data bahwa, pasien mengatakan malas bergaul dengan orang lain, pasien mengatakan dirinya tidak ingin ditemani perawat dan meminta untuk sendirian, pasien mengatakan tidak mau berbicara dengan orang lain, pasien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain, pasien merasa tidak aman dengan orang lain, pasien mengatakan tidak bisa melangsungkan hidup, pasien mengatakan merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
Beberapa data ada yang tidak ditemukan oleh penulis pada Tn. A sesuai dengan tinjauan teoritis antara lain pasien merasa tidak aman dengan orang lain, pasien mengatakan tidak bisa melangsungkan hidup. Tidak munculnya data tersebut
dikarenakan pasien sudah empat belas hari berada di rumah sakit, dan telah
mendapatkan terapi baik terapi medis maupun terapi keperawatan.
Selama proses pengkajian pada Tn. A penulis merasakan adanya faktor pendukung dan penghambat. Faktor pendukung dari proses pengkajian adalah sikap pasien yang kooperatif sehingga memudahkan penulis dalam menggali data-data masalah yang sedang dihadapi pasien. Faktor penghambat dalam melakukan pengkajian yaitu tidak adanya keluarga pasien saat dilakukannya pengkajian sehingga penulis tidak dapat melakukan validasi data yang didapat dari pasien. Selain itu tidak adanya pemeriksaan penunjang yang spesifik terhadap faktor biologis penyebab terjadinya isolasi sosial juga merupakan faktor penghambat bagi penulis, sehingga pemberian obat pun menjadi tidak spesifik, hanya berdasarkan gejala yang muncul. Oleh karena itu, jadwal berkunjung keluarga harusnya dibuat, agar keluarga dapat berkunjung ke rumah sakit sesuai jadwal, dan segala fasilitas yang menyangkut pemeriksaan diagnostik agar segera difasilitasi.
B.  Diagnosa Keperawatan
Data yang telah diperoleh dari pengkajian, kemudian dilakukan proses analisa dan pengelompokkan data berdasarkan respon pasien terhadap masalah tersebut. Akhirnya penulis merumuskan empat diagnosa keperawatan pada Tn. A, antara lain : isolasi sosial, inefektif regimen therapeutik, dan inefektif koping individu dan resiko perilaku kekerasan. Keempat diagnosa tersebut disusun membentuk pohon masalah yang terdiri penyebab, core problem dan akibat, sebagaimana landasan teori menurut Fitria (2009, hlm. 36).
Penulis menyusun pohon masalah disesuaikan dengan diagnosa yang muncul pada pasien. Diagnosa isolasi sosial menjadi core problem pada masalah Tn. A, karena data yang didapat sangatlah aktual. Pasien tampak sering menyendiri dari teman-temannya, pasien tampak tidak berinteraksi dengan orang lain, pasien tidak mampu memulai pembicaraan, pasien banyak diam, pasien tidak mau mengikuti kegiatan, pasien tampak lesu, afek tumpul serta, pasien malas beraktivitas. Selain Core problem, di dalam pohon masalah terdapat diagnosa penyebab yaitu, inefektif koping individu dan inefektif regimen therapeutik.
Penulis mengangkat diagnosa inefektif koping individu sebagai diagnosa penyebab karena didapatkan data bahwa menurut catatan keperawatan, pasien mempunyai riwayat putus cinta ± 8 bulan sejak ia pulang dari malaysia serta pasien mempunyai masalah dalam hal menyelesaikan masalah.
Sedangkan diagnosa untuk akibat dari inefektif regimen therapeutik adalah resiko perilaku kekerasan, penulis mengangkat diagnosa resiko perilaku kekerasan karena pasien masuk dengan riwayat perilaku kekerasan. Namun, pada saat penulis melakukan pengkajian terhadap pasien, penulis tidak menemukan data-data yang terkait perilaku kekerasan seperti tangan mengepal, mata melotot dll.
Berdasarkan diagnosa yang dirumuskan, ada empat diagnosa teoritis menurut Fitria (2009, hlm. 36) yang tidak muncul pada kasus, yaitu koping keluarga tidak efektif, intoleransi aktivitas, defisit perawatan diri, harga diri rendah kronis dan perubahan persepsi sensori: halusinasi. Sedangkan menurut Keliat (2006, hlm. 20) ada empat diagnosa yang tidak muncul yaitu gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran, gangguan konsep diri: harga diri rendah, defisit perawatan diri, ketidakefektifan koping keluarga: ketidakmampuan keluarga merawat pasien dirumah, serta gangguan pemeliharaan kesehatan. Masalah-masalah tersebut tidak muncul karena pasien telah mendapatkan terapi selama empat belas hari, sehingga gejala psikotik pasien telah berkurang.
Pada proses penegakkan diagnosa keperawatan, penulis tidak menemukan faktor penghambat. Kerjasama yang baik antara perawat dan pasien, serta data yang sangat mendukung merupakan faktor pendukung bagi penulis untuk mengangkat diagnosa-diagnosa tersebut .
C.  Rencana Keperawatan
Penyusunan rencana keperawatan pada Tn. A telah sesuai dengan rencana perawatan teoritis menurut Keliat dan Akemat (2010, hlm. 98-99), namun tetap disesuaikan kembali dengan kondisi pasien. Sehingga tujuan dan kriteria hasil diharapkan dapat tercapai. Penulis juga mengikuti langkah-langkah perencanaan yang telah disusun mulai dari menentukan prioritas diagnosa, tujuan, sampai kriteria hasil yang akan diharapkan. Merencanaan satu diagnosa dalam perencanaan yaitu isolasi sosial, sedangkan diagnosa lainnya telah tercakup dalam tindakan satu diagnosa tersebut.
Penulis merencanakan bagaimana cara membina hubungan saling percaya, membantu pasien untuk mengenal penyebab isolasi sosial, bantu pasien untuk mengenal manfaat berhubungan dengan orang lain dengan cara mendiskusikan manfaat jika pasien memiliki banyak teman, serta membantu pasien mengenal kerugian tidak berhubungan dengan orang lain, membantu pasien untuk berinteraksi dengan orang lain secara bertahap. Tindakan berinteraksi dengan orang lain dapat membantu dalam mengatasi masalah keperawatan inefektif koping individu, karena jika pasien sudah mengenal bahkan berinteraksi dengan orang lain pasien dapat menceritakan masalah yang dialaminya.
Untuk diagnosa keperawatan inefektif regimen therapeutik tidak dibuat intervensi karena diagnosa inefektif regimen therapeutik akan teratasi jika diagnosa resiko perilaku kekerasan dan juga isolasi sosial teratasi. Hal ini merupakan alasan penulis tidak mencantumkan rencana tersendiri untuk diagnosa inefektif regimen therapeutik dan inefektif koping individu. Apabila isolasi sosial teratasi maka pasien akan lebih aktif baik didalam maupun diluar rumah sakit.
Sementara itu, untuk diagnosa resiko perilaku kekerasan tidak penulis buat intervensi karena ketika penulis melakukan pengkajian terhadap pasien, penulis tidak menemukan tanda-tanda perilaku kekerasan seperti tangan mengepal, mata melotot dan lain sebagainya, hanya saja pasien masuk dengan riwayat perilaku kekerasan sehingga penulis mengangkat diagnosa tersebut.
Keterlibatan keluarga dalam merawat pasien juga sangat diperlukan dalam proses penyembuhan pasien. Oleh karena itu, penulis merencanakan beberapa tindakan terhadap keluarga sesuai diagnosa yang muncul pada pasien, penulis tetap merencanakan intervensi isolasi sosial terhadap keluarga karena penulis ingin mengantisipasi kedatangan keluarga yang tidak terjadwal sehingga memudahkan penulis dalam memberikan intervensi. Penulis mencoba menggali masalah keluarga dalam merawat pasien serta merencanakan bagaimana cara merawat pasien isolasi sosial.
Sebagaimana pada tahap sebelumnya, pada tahap ini penulis tidak merasakan adanya hambatan. Kesamaan antara konsep teoritis terhadap kondisi dan kebutuhan pasien merupakan faktor pendukung bagi penulis serta tersedianya literatur yang memudahkan penulis dalam perumusan rencana keperawatan pada Tn. A.
D.  Implementasi
Penulis melakukan implementasi keperawatan mulai dari tanggal 14 Juni sampai dengan 16 Juni 2012. Secara umum semua implementasi yang dilakukan sesuai dengan rencana keperawatan yang telah dibuat pada tahap sebelumnya.
Penulis melaksanakan implementasi keperawatan menggunakan tahapan strategi pelaksanaan. Tahapan ini digunakan agar mempermudah perawat dalam memberikan terapi secara sistematis dan tetap memperhatikan kebutuhan pasien. Untuk mengatasi masalah isolasi sosial, penulis terlebih dahulu membina hubungan saling percaya, membantu pasien untuk mengenal penyebab isolasi social, bantu pasien untuk mengenal manfaat berhubungan dengan orang lain dengan cara mendiskusikan manfaat jika pasien memiliki banyak teman, membantu pasien mengenal kerugian tidak berhubungan dengan orang lain, membantu pasien untuk berinteraksi dengan orang lain secara bertahap.
Penulis tidak hanya fokus terhadap masalah isolasi sosial, melainkan penulis juga menggali sejauh mana pasien mampu mengeksplorasikan perasaannya kepada orang lain, diharapkan apabila pasien dapat mengeksplorasikan perasaanya dapat membuat pasien terbuka, sehingga jika ada masalah klien dapat menceritakannya kepada orang lain dan tidak memendamnya lagi. Sebagaimana pohon masalah menurut Fitria (2009, hlm. 36) bahwa isolasi sosial dapat terjadi akibat koping indidvidu inefektif.
Berbeda pada tahap sebelumnya, pada tahap implementasi penulis menemukan hambatan dalam pelaksanaannya, yaitu tidak adanya keterlibatan keluarga dalam pemberian implementasi, sehingga intervensi keluarga belum bisa dilaksanakan. Faktor pendukung yang penulis rasakan pada pada tahap ini yaitu sikap pasien yang sangat kooperatif, sehingga implementasi dapat dilaksanakan sesuai perencanaan. Oleh karena itu, kunjungan keluarga sangatlah dibutuhkan untuk membantu penyembuhan pasien.
E. Evaluasi
Tahap ini penulis menilai sejauh mana keberhasilan yang dicapai dalam pemberian asuhan keperawatan dan membandingkannya dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah dibuat. Penulis menggunakan komponen proses evaluasi mulai dari mengidentifikasi kriteria hasil, mengumpulkan data perkembangan pasien, mengukur dan membandingkan perkembangan pasien dengan kriteria evaluasi. Selain itu penulis juga menggunakan dua metode evaluasi, yaitu evaluasi formatif (evahnasi proses) dan evaluasi sumatif (evaluasi tahap akhir). Dari satu diagnosa yang didokumentasikan, diagnosa isolasi sosial dapat diatasi.
Diagnosa isolasi sosial dapat teratasi dibuktikan dengan penilaian penulis terhadap perkembangan pasien selama tiga hari yaitu pasien mampu mempraktikan cara berkenalan dengan perawat, pasien mampu berkenalan dengan orang pertama, pasien mampu berkenalan dengan orang kedua. Dari ketiga cara diatas, sebagian besar pasien dapat mempraktekkannya secara mandiri tanpa harus diingatkan.
Penulis menyadari bahwa proses keperawatan tidak dapat berakhir dalam satu periode, melainkan membutuhkan waktu yang lebih panjang dan tindakan yang berkelanjutan. Perkembangan yang ditunjukan oleh Tn. A masih perlu dilakukan observasi lebih lanjut, karena evaluasi yang diharapkan belum tercapai sepenuhnya, maka diperlukan adanya modifikasi secara khusus dalam menyusun rencana keperawatan agar tujuan dan kriteria hasil yang telah disusun dapat tercapai.
Sikap kooperatif dan kerja sama dari pasien merupakan faktor pendukung bagi penulis dalam menilai perkembangan pasien. Pasien selalu memperlihatkan jadwal hariannya dan mengisinya dengan baik, akan menjadi indikasi layak atau tidaknya pasien untuk dirawat dirumah. Maka dari itu, perlunya operan antar shift yang jelas serta pemantauan terhadap jadwal harian pasien dan didukung oleh pendokumentasian yang rapi sesuai dengan keadaan pasien merupakan salah satu cara pemantauan terhadap perkembangan pasien.

BAB V
PENUTUP
Setelah penulis menguraikan menguraikan asuhan keperawatan pada Tn. A dengan isolasi sosial, maka bab ini penulis akan menyimpulkan dan memberikan saran alternatif dalam pemberian asuhan keperawatan khususnya penyelesaian masalah apa pasien dengan isolasi sosial
A.      Kesimpulan
Berdasarkan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. A dengan isolasi sosial, penulis menyimpulkan:
1.         Isolasi soaial merupakan suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial.
2.        
75
 
Diagnosa yang muncul pada pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. A dengan isolasi sosial, pada dasarnya dianosa yang didapatkan dari klien sudah sesuai dengan teori yang ada. Diagnosa yang muncul pada Tn. A adalah isolasi sosial, inefektif regimen therapeutik dan inefektif koping individu. Sedangkan diagnosa yang tidak muncul pada Tn. A menurut landasan teori adalah harga diri rendah kronik, perubahan persepsi sensori: halusinasi, inefektif koping keluarga, intoleransi aktivitas, defisit perawatan diri dan resiko tinggi mencederai diri orang lain dan lingkungan.
3.         Fokus pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan isolasi sosial adalah sebagai upaya untuk menekspolasikan perasaanya kepada orang lain, sehingga dengan fokus pelaksaan tersebut dapat mengatasi masalah isolasi sosial dan juga masalah imefektif koping individu, sehingga dua masalah tersebut dapat teratasi secara langsung.
4.         Pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. A dengan isolasi sosial sudah sesuai dengan pelaksanaan yang ada di dalam penatalaksaanteoritis. Selama tiga hari, pasien sudah mampu berinteraksi dengan orang lain, serta pasien juga mampu menyebutkan serta melatih cara berkenalana dengan orang lain.
5.         Dalam pemberian asuhan keperawatan pada Tn. A terdapat beberapa faktor pendukung dan juga faktor penghambat. Faktor pendukung dalam pemberian asuhan keperawatan pada Tn. A adalah sikap pasien yang kooperatif  dan juga adanya kerjasama anatar penulis dan juga perawat ruangan. Sedangkan faktor penghambatnya adalah terbatasnya sarana dan prasarana yang ada dirumah sakit, sehingga sulit untuk melakukan intervensi keperawatan.
B.       Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, penulis mengajukan beberapa saran sebagai pertimbangan dalam meningkatkan asuhan keperawatan, ksususnya pada pasien dengan isolasi sosial.
1.         Rumah Sakit Khusus
Rumah sakit khusus sebagai salah satu wadah dalam membantu program pemerintah untuk meningkatkan serta mempertahankan kesehatan masyarakat, diharapkan pihak rumah sakit membuat jadwal kunjungan keluarga agar proses pemberian intervensi pada keluarga dapat dilakukan. Selain itu, diharapkan pihak manajemen agar memperhatikan sarana dan prasarana yang ada dan melengkapi seluruh peralatan medis yang menunjang proses penyembuhan pasien. Serta diharapkan pihak menejemen lebih proaktif untuk melakukan home visite kerumah-rumah pasien khususnya pasien-pasien yang ditelantarkan oleh keluarganya.
2.         Mahasiswa Keperawatan
Mahasiswa merupakan calon penerus perawat yang ada diruangan, sehingga diharapkan mahasiswa agar mampu memanfaatkan waktu yang ada pada saat praktik semaksimal mungkin, agar ilmu yang didapatkan tidak hanya di ruang kelas, melainkan juga dilapangan.
3.         Pendidikan Keperawatan
Pendidikan keperawatan merupakan pencetak perawat-perawat dimasa depan, hendaknya pihak pendidikan dapat memberikan banyak materi pembelajaran dan praktik terkait perkembangan keperawatan jiwa yang dirasakan semakin menjadi msalah kesehatan jiwa. Begitu juga dengan literatur yang disediakan, agar buku-buku yang disediakan diperpustakaan selalu diupgrade, sehingga sumber yang disediakan merupakan sumber terbaru. Dalam hal pembuatan laporan kasus ini diharapkan menjadi pertimbangan agar waktu pembuatan laporan kasus ini dapat diperpanjang, agar pembuatan laporan kasus ini dapat dimanfaatkan secara maksimal dengan hasil yang juga maksimal.
4.         Keluarga dan Masyarakat
Keluarga dan masyarakat hendaknya dapat mengenal gangguan jiwa bukan sebagai suatu penyakit yang sangat meresahkan masyarakat. Khususnya kepada keluarga agar memberikan dukungan bagi proses penyembuhan pasien, baik berupa materil maupun berupa support dalam hal kecil seperti kunjungan terhadap keluarganya yang ada dirumah sakit khusus.

DAFTAR PUSTAKA
Doenges E, Marylin et. al. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan Psikiatri edisi 3. (alih bahasa oleh Laili Mahmudah, dkk, 2006). Jakarta : EGC
Fitria , Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan  Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Stuart, Gail W. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa (alih bahasa , Ramona P Kapoh,  Egi Komara Yudha, 2006). Jakarta: EGC
Hawari, Dadang. 2001. Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa. Jakarta :FKUI
Keliat, Budi Anna dan Akemat. 2006. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC
Keliat, Budi Anna dan Akemat. 2010. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC
Medikal Record. 2011. Distribusi Kunjungan Pasien Rawat Inap Menurut Jenis Penyakit. Pontianak: Rumah Sakit Khusus Provinsi Kalimantan Barat.
NANDA. 2011. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi (alih bahasa, Sumarwati et. al., 2011). Jakarta: EGC
Perry & Potter. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep Proses dan Praktek Edisi 4. (alih bahasa oleh Yasmin Asih, dkk, 2005). Jakarta: EGC
Rasmun. (2004). Stress Koping dan Adaptasi. Jakarta :CV.Sagung Seto
Stuart, Gail W dan Laraia. (2005). Priciple and paraktice of Psychiatric Nursing Edition 8. USA : Mosby
Townsend, Mary C (2003). Psychiatric Mental Healt Nursing : Concepts of Care.Fourth Edition. Philadelphia : Davis Company
Videbeck, Sheila L. (2001). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. (alih bahasa oleh Komalasari & Hany, 2008). Jakarta: EGC
Wilkinson, Judith M. (2007). Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC  Edisi 7. Jakarta: EGC
Yosep, Iyus. (2009). Keperawatan Jiwa  Edisi Revisi. Bandung : PT Refika Aditama

Lampiran 1
Strategi Pelaksanaan (SP 1)
Isolasi Sosial
A.    Proses keperawatan
1.      Kondisi pasien : komunikasi kurang, kontak mata kurang, kurang memperhatikan perawatan diri, ekspresi wajah sedih, pasien lebih banyak diam.
2.      Diagnosa keperawatan : Isolasi sosial
3.      Tindakan keperawatan :
a.       Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial
b.      Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain.
c.       Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain.
d.      Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan orang lain.
e.       Menganjurkan pasien untuk memasukkan latihan berkenalan dengan orang lain kedalam jadwal harian pasien.
B.     Strategi pelaksanaan
1.      Fase orientasi
“Selamat pagi pak......”
“Perkenalkan nama saya Herman Petrik, bapak bisa panggil saya Petrik, saya yang akan merawat bapak selama tiga hari.”
“Ini dengan bapak siapa? Bapak senangnya dipanggil apa?”
“Bagaimana perasaan bapak hari ini? Keluhan apa yang bapak rasakan hari ini?”
“Bagaimana kalu kita berbincang-bincang tentang keluarga dan teman-teman bapak?
“Bapak maunya diman kita ngobrol?”
“Bapak maunya berapa lama kita ngobrol? Bagaimana kalu 15 menit?”
2.      Fase kerja
“Baiklah pak, kalau boleh tau di rumah bapak tinggal dengan siapa saja? Menurut bapak siapa orang yang paling dekat dengan bapak? Kalau ada masalah biasanya dengan siapa bapak bercerita? Kalu di rumah dengan siapa paling sering napak berbicara? Siapa yang paling jarang berbicara dengan bapak? Kira-kira apa yang membuat bapak jarang berbicara?
“Menurut bapak ada tidak  keuntungannya kalau kita banyak teman? Kalau ada coba bapak sebutkan! Ya...benar sekali pak, kalau ada teman bisa diajak ngobrol. Apa lagi pak?”
“Nah pak kalau ada keuntungannya berarti ada kerugiannya, nah coba sekarang bapak sebutkan apa kerugiannya kalau kita tidak punya teman! Wah betul sekali, terus apa lagi pak? Nah sekatrang bapak lebih memilih yang mana? Banyak teman atau tidak ada teman?
“Kalau begitu bagaimana kalau sekarang kita belajar bagaimana cara bergaul dengan teman-teman bapak agar bapak bisa punya banyak teman?”
“baiklah sekarang kita akan latihan bagaimana cara berkenalan yang baik”
“Kalau kita ingin berkenalan, pertama-tama kita ucapakan salam kemudian kita jabat tangannya, selanjutnya kita sebutkan nama kita dan nama panggilan yang kita suka, kemudian asal dan hobi kita. Contohnya begini ya pak, Pertama ucapkan salam, kemudian jabat tangan orang yang akan kita ajak kenalan lalu perkenalkan nama. Perkenalkan nama saya Herman Petrik, saya senang dipanggil Petrik, saal saya dari sanggau dan hobi saya membaca buku”.
“Selanjutnya bapak tanyakan nama orang yang kita ajak kenalan”.
“Contohnya begini pak, nama bapak siapa? Bapak senagnya dipanggil apa? Asalnya dari mana dan hobinya apa?” Ayo sekarang coba bapak lakukan seperti yang saya ajarkan tadi? Misalnya bapak ingin berkenalan dengan saya”.
3.      Fase terminasi
“Bagaimana perasaan bapak setelah kita latihan cara berkenalan tadi?”.
“Bapak tadi sudah bagus saat latihan berkenalan, nah sekarang coba bapak sebutkan apa saja yang dilakukan apabila kita akan berkenalan? Ya....bagus”.
“Nah selanjutnya bapak bisa mengingat apa yang kita latih tadi dan bapak bisa mempraktekannya dengan teman-teman bapak di ruangan.
“Baiklah pak, bagaimana kalau sekarang kita masukan latihan berkenalan tadi kedalam jadwal kegiatan harian bapak. “Bapak maunya berapa kali kita latihan? Jam berapa saja bapak mau?”
“Baiklah pak sekarang kita telah selesai menyusun jadwal, bagaimana kalau besok kita ketemu untuk mengajak bapak berkenalan dengan satu orang sesuai dengan yang telah saya ajarkan tadi? Bapak maunya jam berapa? Dimana bapak mau kita bertemu? Bagaimana kalau ditempat ini lagi?, Baiklah pak, kalau begitu saya permisi dulu. Selamat pagi.....”
lampiran 2
Strategi pelaksanaan (SP 2)
Isolasi sosial
A.    Proses keperawatan
1.   Kondisi pasien : Komunikasi kurang, kontak mata kurang, tidak bisa memulai pembicaraan.
2.   Diagnosa keperawatan : Isolasi sosial
3.   Tindakan keperawatan :
a.       Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
b.      Memberikan kesempatan kepada pasien untuk berkenalan
c.       Menganjurkan pasien untuk memasukan dalam jadwal harian pasien
B.     Strategi pelaksanaan
1.      Fase orientasi
“Selamat siang pak? Bagaimana keadaanya hari ini? Masih ingat apa tujuan kita ketemu hari ini? Ya bagus.”
“Bagaimana pak masih ingat apa yang telah kita latih kemarin? Coba sebutkan? Bagus sekali bapak masih ingat.”
“Sesuai janji kita kemarin pada hari ini saya akan mengajak bapak berkenalan dengan teman saya”.
2.      Fase kerja
“Baiklah pak kita langsung kenalan dengan teman saya”.
“Selamat siang E, ini ada yang mau berkenalan dengan E. Ayo pak sekarang bapak kenalan dengan teman saya seperti yang telah saya ajarkan kemarin?(pasien mendemonstrasikan cara berkenalan). “Nah apa lagi yang mau bapak tanyakan pada E? Kalau tidak ada lagi yang ingin ditanyakan mari kita kembali ketempat kita berbincang-bincang tadi.”
“Baiklah E karena Bapak A sudah selesai berkenalan, saya dan Bapak A akan kembali ketempat kami, Selamat siang E”.
3.      Fase terminasi
“Bagaimana perasaan bapak setelah berkenalan dengan E tadi?”
“Bapak sudah mempraktekan cara berkenalan dengan baik, nah bapak bapak bisa mengingat ingat yang kita latih tadi. Bapak bisa mempraktekannya dengan teman-teman yang lain.”
“Bagaimana kalau sekarang kita masukan kedalam jadwal harian bapak.”
“Bapak maunya berapa kali latihannya?”
“Baiklah pak besok kita ketemu lagi intuk latihan berkenalan dengan orang  yang berbeda?”. “Bapak maunya jam berapa? Dimana kita latihan?” Bagaimana kalau ditempat ini lagi.”
“Baiklah pak kalau begitu saya permisi dulu. Selamat siang........
lampiran 3
Strategi pelaksanaan (SP 3)
Isolasi sosial
A.    Proses keperawatan
4.   Kondisi pasien : Komunikasi kurang, kontak mata kurang, tidak bisa memulai pembicaraan.
5.   Diagnosa keperawatan : Isolasi sosial
6.   Tindakan keperawatan :
d.      Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
e.       Memberikan kesempatan kepada pasien untuk berkenalan
B.     Menganjurkan pasien untuk memasukan dalam jadwal harian pasien
C.     Proses keperawatan
7.   Kondisi pasien : Komunikasi kurang, kontak mata kurang, tidak bisa memulai pembicaraan.
8.   Diagnosa keperawatan : Isolasi sosial
9.   Tindakan keperawatan :
f.       Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
g.      Memberikan kesempatan kepada pasien untuk berkenalan
h.      Menganjurkan pasien untuk memasukan dalam jadwal harian pasien
D.    Strategi pelaksanaan
1.      Orientasi
"Selamat pagi A! Bagaimana perasaan A hari ini?"
"Apakah A bercakap-cakap dengan perawat E kemarin siang (jika jawaban pasien, ya, perawat dapat melanjutkan komunikasi berikut­nya dengan pasien lain)."
"Bagairrrana perasaan A setelah bercakap-cakap dengan perawat E kemarin siang?"
"Bagus sekali A menjadi senang karena punya teman lagi!" "Kalau begitu A ingin punya banyak teman lagi?"
"Bagaimana kalau sekarang kita berkenalan lagi dengan teman seruangan A yang lain, yaitu R. Seperti biasa, kira-kira 10 menit. Mari kita temui dia di ruang makan."
2.      Kerja
(Bersama-sama 5, perawat mendekati pasien lain)
"Selamat pagi, ini ada pasien saya yang ingin berkenalan."
"Baiklah A, A sekarang bisa berkenalan dengannya seperti yang telah A lakukan sebelumnya." (Pasien mendemontrasikan cara berkenalan: memberi salam, menyebutkan nama, nama panggilan, asal, hobi, dan menanyakan hal yang sama. )
"Ada lagi yang A ingin tanyakan kepada R? Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, A bisa sudahi perkenalan ini. Lalu A bisa buat janji bertemu lagi, misalnya bertemu lagi jam 4 sore nanti (A membuat janji untuk bertemu kembali dengan R)."
"Baiklah R, karena A sudah selesai berkenalan, saya dan A akan kembali ke ruangan A. Selamat pagi (bersama pasien perawat meninggalkan R untuk melakukan terminasi dengan A di tempat lain).
3.      Terminasi
"Bagaimana perasaan A setelah berkenalan dengan R?"
"Dibandingkan kemarin pagi, A tampak lebih baik ketika berkenalan dengan R. Pertahankan apa yang sudah A lakukan tadi. Jangan lupa untuk bertemu kembali dengan R jam 4 sore nanti."
"Selanjutnya, bagaimana jika kegiatan berkenalan dan bercakapcakap dengan orang lain kita tambahkan lagi di jadwal harian. Jadi, satu hari A dapat berbincang-bincang dengan orang lain sebanyak tiga kali, jam 10 pagi, jam 1 siang dan jam 8 malam, A bisa bertemu dengan R, dan tambah dengan pasien yang baru dikenal. Selanjutnya A bisa berkenalan dengan orang lain lagi secara bertahap. Bagaimana A, setuju kan?"
"Baiklah, besok kita ketemu lagi untuk membicarakan pengalaman A. Pada jam yang sama dan tempat yang sama ya."
"Sampai besok!"

0 komentar:

Posting Komentar