web widgets

Kamis, 29 Januari 2015

Kisah Wanita Indonesia yang Terdampar di Chechnya

Kisah Wanita Indonesia yang Terdampar di Chechnya Kisah Wanita Indonesia yang Terdampar di Chechnya
Pankisi - Jalan hidup manusia tak bisa ditebak. Begitu pula yang terjadi pada Devi Asmadiredja. Wanita berdarah Indonesia ini kini tinggal di sebuah gubuk terpencil di kawasan pegunungan antara Chechnya dan lembah Georgia Pankisi. 

Empat tahun lalu, Devi hidup bersama suami dan tiga anaknya di Jerman. Sang suami yang tidak disebutkan namanya meminta Devi agar meninggalkan keluarga untuk pindah ke Chechnya. Ia mengatakan tak lagi mencintai Devi. 

Suami memintanya pergi ke Pankisi untuk belajar bahasa Chechnya, bahasa leluhurnya. "Ia tahu bahwa saya bisa belajar bahasa dengan cepat dan ia pikir saya akan kembali dan mengajarkannya," kata Devi. 

Selama menikah, Devi tak pernah pergi seorang diri. Berbekal tiket pesawat dan uang secukupnya yang diberikan oleh sang suami, ibu rumah tangga itu pun bertolak ke Chechnya. 

Meski demikian, Devi merasa antusias. Dia menyatakan hal itu menarik. Dia berkesempatan melarikan diri dari suaminya. 

Semula tak mudah bagi Devi meninggalkan tiga anaknya. "Itu sangat sulit. Saya tidak bisa tidur setiap malam tanpa mereka," kata perempuan berusia 45 tahun itu. Namun ia tak punya pilihan.

Devi tiba di Tbilisi, ibu kota Georgia. Tak ada seorang pun yang dikenalnya di sana. Hingga akhirnya ia bertemu dengan seseorang dan menanyakan apakah ada orang yang bisa mengajarinya bahasa Chechnya.

Dalam waktu 20 menit, ia berhasil mendapatkan tempat tinggal gratis dan belajar bahasa dari warga setempat. Devi diberi nama Khedi oleh teman-temannya di Chechnya, yang berasal dari nama Khedijat atau Khadijah, yang merupakan istri Nabi Muhammad.

Penampilan Devi yang berbeda dengan para wanita Chechnya seringkali mengundang kecurigaan. Ia tak berkerudung dan memiliki tujuh tato di tubuhnya, termasuk tato belati tradisional Indonesia di kaki kirinya dan belati Kaukasia di kanan.

Gaya Devi yang nyeleneh itu membuat gerah imam sebuah masjid Wahhabi di sana. Devi pun diusir dari rumah induk semangnya dan pindah ke rumah keluarga Kist. 

Selama 18 bulan di Chechnya, sang suami menghubungi Devi melalui telepon genggamnya. Wanita ini diminta tak kembali ke Jerman, karena sang suami telah menemukan wanita lain. 

Usai menerima kabar mengejutkan itu, Devi yang menumpang di rumah keluarga Kist, pindah ke pegunungan dan tinggal di di sebuah gubuk penggembala sapi berupa bangunan sederhana dari batu tanpa alat pemanas, listrik, ataupun air.

Selama dua bulan, ia hanya bertahan hidup dari makanan yang diberikan para penggembala yang kebetulan melintas dan minum dari air pengunungan.

Namun tak disangka, Devi jatuh cinta pada tanah tempatnya tinggal. Meski hidup di lingkungan keras, Devi enggan meninggalkan gunung. "Saya jatuh cinta dengan pegunungan,"ujarnya. "Saya belum pernah melihat pegunungan seperti ini sebelumnya, orang-orang dan cahaya di gunung yang luar biasa."

Dia menolak untuk pindah ke kota dan memilih tetap tinggal di gunung. Kemampuan berbahasanya juga meningkat, tak hanya Chechnya, ia mampu nmenguasai bahasa Georgia setelah diajari oleh para penggembala asal Tush dan Khevsur.

Selama beberapa bulan, Devi menghafal setiap sudut jalur dari Pankisi ke pegunungan. Ia mampu berjalan kaki hingga berhari-hari. Pernah hampir mati gara-gara tak bertemu makanan selama 12 hari sebelum ditemukan oleh seseorang yang kebetulan melintas. "Aku sangat dekat dengan kematian saat itu," tuturnya.

Kedekatannya dengan alam pegunungan nan elok di perbatasan Chechnya dan Georgia, membuka potensi lain. Devi ditawari bekerja oleh sebuah agen perjalanan Jerman, menjadi pemandu bagi para pendaki yang melalui jalur Kaukasus dengan gaji $100 per hari. 

Di gunung pula, Devi menemukan cinta keduanya. Dia bertemu dengan seorang penggembala asal Georgia bernama Dato. Mereka menikah. 

Devi dan suaminya kini menjadi pemandu wisata. Pernikahan mereka dilangsungkan secara siri karena wanita berayah Sunda ini masih terikat pernikahan resmi dengan suami pertamanya. 

0 komentar:

Posting Komentar